PADANG, KOMPAS.com — Begitu mendengar kabar terjadinya gempa bumi dahsyat 7,6 SR di ranah Minang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) malam, para awak kuli tinta, media cetak maupun media elektronik, di Jakarta segera mengurus segala keperluan untuk satu tujuan: terbang ke Padang.
Kepergian ratusan pekerja media dari Jakarta ke Padang itu untuk menggantikan sebagian koresponden dan wartawan daerah yang turut menjadi korban gempa.
Bertugas di daerah gempa tidaklah semudah yang dibayangkan. Terlebih, sebagian wartawan tiba di Padang tanpa bekal informasi yang memadai, seperti informasi transportasi dan lainnya.
Beberapa kendala yang dihadapi kuli tinta, misalnya, transportasi, penginapan, dan logistik. Tidak beroperasinya sejumlah trayek transportasi membuat ruang gerak para kuli tinta terbatas. Suka tidak suka, mereka akhirnya terpaksa mengandalkan ojek motor, salah satu dari sedikit moda transportasi yang tetap beroperasi.
Namun, melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) dan langkanya trayek transportasi setelah terjadi gempa membuat para pengojek "terpaksa" mematok harga tinggi. Seorang wartawan radio dan online terpaksa nyaris "berpuasa" karena uang saku mereka ludes untuk membayar ongkos ojek.
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) beberapa bank nasional pun banyak yang tidak berfungsi hingga hari kedua pascagempa. Beruntung, setelah bertugas dua hari, keduanya ditarik kembali ke Jakarta. Logistik pun menjadi masalah tersendiri.
Beberapa waktu lalu, serombongan wartawan yang bertugas di kantor Gubernuran Sumatera Barat sempat berkeliling kota Padang selama dua jam hanya untuk mencari makan. Usai berkeliling selama dua jam, mereka kembali dengan tangan kosong. Padahal, asupan gizi menjadi perkara penting, terutama seusai melakukan tugas kewartawanan yang menguras tenaga.
Kejadian menarik sempat dialami Kompas.com. Setelah berkeliling untuk mencari rumah makan kesana-kemari, akhirnya dari kejauhan terlihat sebuah rumah dengan sinar lampu yang temaram. "Apakah di sini jual makanan," tanya Kompas.com kepada seorang bapak setelah sampai di rumah itu.
"Anda dari mana?" tanya bapak itu. Setelah dijawab dari Kompas.com, akhirnya si bapak mengajak kami makan malam bersama beberapa warga setempat. Menunya, nasi putih dan sayur terong. Ternyata, yang kami datangi adalah sebuah gereja dan si bapak tadi adalah seorang pastor.
Akibat gempa, sebagian penginapan pun rusak parah. Beberapa hotel yang buka pun langsung diserbu warga lokal dan wartawan, lokal dan asing. Sayangnya, hotel yang beroperasi pun tidak dapat melayani dua kebutuhan dasar tamu: air bersih dan makanan.
Di Hotel Bougenville, yang dihuni para wartawan, misalnya. Selain tidak menyediakan makan pagi, semua kamar mandi di hotel bertingkat dua itu tidak berfungsi. Terpaksa para penghuni hotel berbondong-bondong menuju mushala yang hanya memiliki dua kamar mandi. Alhasil, setiap pagi dan malam, antrean di mushala mengular hingga beberapa meter.
Kondisi kamar di Hotel Bougenville pun tak ubahnya lokasi pengungsian. Kamar seluas 4 meter x 5 meter, misalnya, dapat dihuni hingga 10 kuli tinta. Sebagian terpaksa meringkuk di lantai yang dingin dengan bermodalkan sarung dari mushala karena tidak kebagian kasur.
Begitulah, perjuangan para awak kuli tinta itu semata-mata demi mendapatkan berita terkini dan akurat untuk masyarakat luas. Sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat mengikuti perkembangan gempa Sumbar.
Bahkan, masyarakat dapat mengikuti perkembangan berita gempa Sumbar selama 24 jam nonstop, baik melalui media televisi maupun media online. Antara lain, guna mencari tahu keberadaan anggota keluarga mereka.
Tak hanya itu. Pemberitaan mereka juga telah mengetuk hati para dermawan sehingga bantuan langsung mengalir dan dinikmati warga Sumbar yang terkena gempa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar