
Rabu, 7 Oktober Presiden SBY telah melantik tiga nama Plt. Pimpinan KPK. Tiga nama itu adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, Mas Achmad Santoso dan Waluyo. Berdasarkan hasil godokan Tim Lima, tiga nama ini dipertimbangkan penuh untuk mengisi posisi Plt. Pimpinan KPK menggantikan Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Ketiganya diberhentikan sementara dan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang berbeda. Antasari Azhar bermasalah atas dugaan pelaku pembunuhan atas Nasruddin, sementara dua terakhir bermasalah dalam kasus penyalahgunaan kewenangan dan dugaan suap.
Memang harus diakui penetapan status darurat pada diri KPK sangat problematik. Alasan mendasar adalah tidak tegasnya secara definitf state of emergency yang kemudian melahirkan kebijakan tunggal Presiden SBY mengeluarkan Perppu untuk pengisian jabatan lowong sepeninggal tiga pimpinan KPK. Malah, Adnan Buyung Nasution dan Tim Lima-nya menyebutkan alasan menabrak ketentuan usia 65 tahun pimpinan KPK dengan masuknya Tumpak Hatorangan Panggabean yang kini telah berusia 66 tahun sebagai state of emergency. Sesuatu yang sejak awal aneh maka akan melahirkan kejanggalan. Apakah hal ini benar-benar penyelamatan KPK, jika langkah-langkah yang dilakukan cenderung deviatif dan koruptif.
Berdayakan KPK
Ada yang terlupakan sejak awal. Sejatinya kelembagaan KPK diberdayakan. Penasihat KPK mesti ditegaskan posisinya. Sekalipun tersisa dua pimpinan KPK, kekuatan di dalam bukanlah sederhana jika kita mampu berpikir cerdas untuk tidak mengamputasi eksistensi pimpinan dan penasihat KPK. Bukankah kelembagaan itu masih bisa berjalan sekalipun hanya dengan dua pimpinan. Karena jika dibandingkan dengan langkah pembentukan Tim Lima yang eksklusif dengan tidak membuka kesempatan publik mengapresiasi nama-nama yang disusulkan, risiko terwujudnya soliditas kelembagaan akan sulit dilakukan.
Persoalan hukum tiga pimpinan KPK harus ditegaskan limitasi waktunya. Jika tidak, maka kekhawatiran banyak pihak akan terjadi. Dengan alasan belum in-kracht, perpanjangan jabatan Plt. akan memungkinkan dilakukan dan hal ini membuka peluang distorsi kerja-kerja kelembagaan. Persoalan lainnya adalah penyatuan visi atas langkah membangun kembali kepercayaan publik yang telah patah hati terhadap KPK. Bukan tidak mungkin, imaji kelembagaan menjadi prioritas wajah baru KPK yang menuntut tindakan sporadis dan tidak sistematis. Memang keterujian Plt. Pimpinan KPK masih harus dilihat lebih lanjut.
Hemat saya, kecerdasan memahami peta kekuatan KPK hari ini penting dijadikan sebagai modalitas konsolidasi KPK. Belum lagi, KPK harus menyambut kedatangan Pengadilan Tipikor dengan pembenahan-pembenahan kelembagaan. Tidak sederhana problematika KPK. Benar bahwa nama-nama yang diusulkan adalah mereka yang terbilang akrab dengan kerja-kerja KPK. Dengan itulah kemudian percepatan dapat dilakukan. Namun tidak boleh lupa bahwa, koridor normatif kelembagaan KPK patut juga diselamatkan. Agar tidak ada klaim keunggulan pencitraan KPK dilakoni sebagai ajang perebutan imaji belaka. Apalagi, episode penyelematan KPK dilakukan dengan penilaian state of emergency yang kaku.
Sebab akar permasalahan KPK pada intinya adalah ketimpangan dan ketidakcerdasan memahami tupoksi antara beberapa lembaga terkait, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK. Sesungguhnya, KPK dengan dua tersisa “dua pendekar” ditambah penasihat membutuhkan amunisi intelektual untuk duduk bersama membincangkan konstelasi kesemrautan perilaku koruptif dan langkah pencegahannya. Maka, terbitnya Perppu merupakan cacat prosedur yang mengakibatkan jauhnya KPK dari upaya-upaya penyelematan, malah sebuah tindakan pelemahan. Tentu saja hal ini sebuah ironi dengan mengamputasi kedudukan KPK sebagai lembaga independen melalui kekuasaan eksekutif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar